Sunday, September 02, 2012

Misteri dan Mantra: Membaca 'Mantera Luka' Karya Sutirman Eka Ardhana*

Oleh: Retno Iswandari

(dimuat dalam buku Dialog Setahun Diskusi Puisi PKKH UGM, 2013)



MANTERA LUKA

Demi segala kata-kata
tak terkata. Inilah kata-kata
berubah menjadi asap.
Biarkan mengendap, lindap
dalam gelap.

Demi segala kata-kata
tak terbaca. Inilah harap
sembunyi dalam senyap.
Bebaskan aku dari perangkap
di lorong pengap.

Demi segala kata-kata
tak bermakna. Inilah derita
mengoyak dukalara.
Kemana kupecahkan rahasia
tak terbaca?

Demi segala kata-kata
hilang rasa. Inilah hampa
menyayat relung jiwa.
Jangan biarkan aku luka
tak berdaya.

Yogya, 2007



Puisi sebagaimana teks merupakan suatu jagat yang memiliki kompleksitas fenomena dengan beragam penafsiran. Di dalamnya dapat dijumpai fenomena instrinsik dan ekstrinsik yang mana pertama merujuk pada realita inheren dalam teks (struktur dan stile) dan kedua merujuk pada realita di luar teks (sisi filosofis, psikologis, kultural, dsb). Membaca sebuah puisi, dengan demikian, merupakan usaha memasuki suatu jagat yang memiliki kompleksitas fenomena tersebut.

Membaca puisi Mantera Luka karya Sutirman Eka Ardhana di atas, fenomena yang lekas tertangkap oleh saya adalah rimanya. Kata-kata dipilih dan diatur sedemikian rupa sehingga membentuk pola-pola bunyi yang khas:
“...kata-kata/...kata-kata/...asap/...lindap/...gelap.”,
“...kata-kata/...harap/...senyap/...perangkap/...pengap.”,
“...kata-kata/...derita/...dukalara/...rahasia/...terbaca/”,
“...kata-kata/...hampa/...jiwa/...luka/...berdaya.”.


Pola bunyi tersebut hadir lebih intens ketika dilisankan. Tidak keliru jika dalam Peta Perpuisian Indonesia 1970, Dami N. Toda berpendapat bahwa puisi modern cenderung audiovisual, tak sekadar ingin dibaca dalam hati, tetapi juga ingin ditonton dan diperdengarkan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena puisi tersebut sebenarnya ingin lebih dekat dengan pembacanya. Kata-kata seperti halnya dalam Mantera Luka tersebut tidak ingin lewat begitu saja tanpa hambatan (otomatis), melainkan dengan membentuk pola-pola bunyi yang khas, kata-kata ingin hadir dengan cara yang tidak biasa (deotomatis), sehingga dipersepsi dengan cara yang tidak biasa pula, dialami secara lebih intens.

Fenomena di atas mengingatkan pada estetika puisi Sutardji Calzoum Bachri yang disebut-sebut sebagai tonggak perpuisian Indonesia angkatan ’70. Lewat kredonya, “kata bukanlah untuk mengantarkan pengertian, kata-kata haruslah bebas dari beban pengertian, dari beban idea”, Sutardji menciptakan puisi dengan pola-pola bunyi yang khas untuk dialami. Puisi-puisi Sutardji selanjutnya diidentikkan dengan mantra. Bukan suatu kebetulan jika puisi Sutirman Eka Ardhana diberi judul ‘Mantera Luka’. Namun apakah mantra dalam konsep puisi Sutardji sama dengan mantra dalam puisi Sutirman?

‘Mantra’ itu sendiri sebuah fenomena kultural yang termasuk dalam khasanah sastra Indonesia lama. Mantra dijelaskan oleh Edwar Djamaris (1993: 20) sebagai gubahan bahasa yang diresapi oleh kepercayaan kepada dunia yang gaib dan sakti. Gubahan bahasa dalam mantra itu mempunyai seni kata yang khas pula. Kata-katanya dipilih secermat-cermatnya, kalimatnya tersusun dengan rapi, begitu pula dengan iramanya. Isinya dipertimbangkan sedalam-dalamnya. Ketelitian dan kecermatan memilih kata-kata, menyusun larik, dan menetapkan iramanya itu sangat diperlukan, terutama untuk menimbulkan tenaga gaib.

Jika diperhatikan, puisi Mantera Luka di atas sejalan dengan konsep mantra tersebut. Mantera Luka terdiri dari empat bait dengan kalimat yang tersusun rapi, dengan pola yang berulang. Kata-katanya dipilih secara cermat, disusun dalam baris-baris yang diakhiri dengan bunyi yang sepadan sehingga membentuk rima. Dengan kata lain, fenomena instrinsik dalam puisi tersebut hadir dalam upaya mendukung fenomena ekstrinsiknya (fenomena kultural mantra). Bagaimana dengan isi dan fungsinya, apakah ada kaitannya dengan mantra? Mari kita baca bersama-sama.

Puisi Mantera Luka mula-mula berbicara tentang ‘kata-kata’. Kata-kata itu berubah menjadi asap, lalu mengendap, lindap dalam gelap. Semua komponen yang menyertai kata-kata tersebut mengantarkan pada suasana muram, memperlihatkan suatu kondisi yang sulit: dari asap hingga gelap, dari yang kabur hingga yang tak terlihat. Dengan itulah kata-kata pun, pada bait selanjutnya menjadi ‘tak terbaca’. Dari kondisi ketakterbacaan itu, puisi ini lantas berbicara mengenai harap (harapan). Apa yang diharapkan? Mulai dari sanalah subjek aku muncul dengan mengungkapkan harapannya yakni ‘bebas dari perangkap di lorong pengap’. Hal ini mengimplikasikan aku sebagai subjek yang tidak bebas, yang terikat oleh sesuatu, entah apa, di suatu tempat.

Selanjutnya dari kondisi berharap, aku masuk pada kondisi ‘derita’. ‘Kata-kata’ sendiri yang semula ‘tak terbaca’ berubah menjadi ‘tak bermakna’. Dalam kondisi tersebut subjek mengajukan pertanyaan ‘kemana kupecahkan rahasia tak terbaca?’. Pertanyaan tersebut mengimplikasikan permasalahan yang dialami subjek. Permasalahan yang membuatnya tidak bebas atau berada dalam perangkap di lorong gelap. Suatu permasalahan yang pada akhir puisinya membuatnya tidak hanya mengalami ‘derita’, tetapi juga ‘hampa’.

Namun demikian, di akhir puisi ini si aku meminta agar jangan membiarkannya ‘luka tak berdaya’. Dengan kata lain, subjek aku masih mempunyai ‘harap’, ia masih hendak berusaha memecahkan permasalahannya. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa permasalahan yang hendak dipecahkan? Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan yang diajukan tadi: ‘kemana kupecahkan rahasia tak terbaca?’. Apa yang hendak dipecahkan atau yang ingin diatasi oleh subjek tak lain adalah ‘rahasia tak terbaca’. Metafor tersebut bukan tanpa masalah karena rahasia sendiri sudah berarti ‘sesuatu (yang tersembunyi) yang belum diketahui’, mengapa ia masih dilekati sifat ‘tak terbaca’? Adakah rahasia yang lebih gelap? Hal ini mengingatkan saya pada ‘misteri’. Mungkinkah ‘rahasia tak terbaca’ itu semacam misteri?

Sebagaimana pernah dikemukakan Gabriel Marcel, ‘misteri’ berbeda dengan ‘problem’. ‘Problem’ mempunyai masalah konotasi “objektif”. Problem dapat dipecahkan, dapat dijumpai pada taraf pemikiran logis dan teknis, seperti soal ujian kuliah atau kerusakan mesin. Sementara ‘misteri’ mempunyai masalah konotasi “subjektif”, dialami dan dipercaya, tetapi tidak dapat ditangkap sampai tuntas dengan konsep-konsep. Pemikiran tidak dapat melenyapkan misteri. Sebagaimana pertanyaan dalam puisi ini, “kemana kupecahkan rahasia tak terbaca”, misteri tidak dapat “dipecahkan” seperti memecahkan problem. Misteri ini meliputi hal-hal yang dialami subjek seperti cinta, luka, derita, hampa.

Jika ‘misteri’ dalam konsep di atas merupakan fenomena filosofis yang menjadi permasalahan subjek, yang melingkupi puisi ini, maka apa kaitannya dengan mantra? Barangkali pertanyaan inilah yang menunjukkan sikap penyair terhadap permasalahannya dalam puisi ini. Mengingat misteri atau ‘rahasia tak terbaca’ tersebut tak dapat dituntaskan dengan pemikiran rasional, maka penyair memilih ‘mantera’ sebagai jawabannya, jalan di luar rasio. Namun kembali pada pertanyaan semula, apakah mantera dalam puisi ini sama status dan bobotnya dengan mantra pada umumnya?

Mantra yang digunakan untuk membangkitkan kekuatan gaib, merupakan sarana untuk berhubungan dengan alam lain atau Yang Suci. Mantra yang semula muncul dalam alam kepercayaan animisme masih tidak hilang setelah masuknya kepercayaan Islam (mantra-mantra yang menyebut “Allah” dan “Muhammad”). Mantra-mantra itu, sesuai dengan status dan bobotnya, menggunakan bahasa-bahasa religi seperti bahasa Arab, Jawa, Bali, dan sebagainya. Adakah bahasa Indonesia seperti dalam puisi tersebut juga bahasa yang demikian? Mantra dalam bahasa yang digunakan oleh Mantera Luka ini sebenarnya hanya sebuah bentuk, bukan status dan bobotnya. Mantera Luka barangkali tidak sedang berbicara dengan alam lain atau Yang Suci. Namun mengingat misteri, seperti dalam penjelasan Marcel, tidak berada di depan atau di luar diri (aku), tetapi dalam diri (aku), barangkali Mantera Luka ini sedang berbicara pada diri sendiri, untuk membangkitkan kekuatan lain dalam dirinya (aku), kekuatan di luar rasio.

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan jika mantra dalam puisi Sutardji merupakan cara untuk membebaskan kata-kata dari beban pengertian atau ide, mantera dalam puisi Sutirman merupakan cara untuk mengatasi misteri (yang tak terpecahkan). Keduanya sama-sama memperlihatkan suatu reaksi terhadap rasionalisme. Demikian fenomena-fenomena dalam jagat puisi Sutirman Eka Ardhana yang saya baca.



*) Catatan ditulis sebagai bahan diskusi puisi PKKH #3. Kamis, 30 Agustus 2012 di PKKH, UGM