Saturday, November 14, 2009

Mempertanyakan Rumah Sakit Jiwa Lewat Film*)

(catatan Retno Iswandari)


Kegilaan dan orang gila menjadi tema menarik hingga sekarang sebab masih menyimpan sejumlah pertanyaan yang belum tuntas. Kegilaan memiliki sejarah panjang dengan berbagai pergeseran makna seperti dalam penelitian historis kritis oleh Michel Foucault (History of Madness). Hingga abad ini, masyarakat umum masih menilai kegilaan sebagai sesuatu yang negatif, tidak wajar, dan penderitanya memiliki status lebih rendah dari orang waras. Para ilmuwan psikiatri juga membuat kategori-kategori kegilaan (abnormalitas) ke dalam berbagai macam istilah beserta penjelasannya.

Perilaku gila semakin dilihat sebagai jenis penyakit; konsep penyakit mental pertama kali dimunculkan pada akhir abad ke delapan belas, dan secara tegas dirancang pada abad kesembilan belas. Kegilaan pun menjadi dimediskan - diambil alih oleh profesi medis. Karena kegilaan ini selanjutnya dikenal sebagai penyakit (bukan, seperti sebelumnya, varian dari lemah-pikiran atau sebagai pengaruh setan), maka kegilaan dianggap sebagai sesuatu dimana hanya dokter yang memenuhi syarat lah yang berwenang mengobatinya (Giddens, 1993: 121).

Keilmuan psikiatri berkembang hingga munculnya fenomena rumah sakit jiwa sebagai suatu tempat yang difungsikan untuk menampung dan “menyembuhkan” orang-orang gila atau dianggap gila dengan cara yang sudah dirumuskan. Kemunculan rumah sakit jiwa ini semakin melegitimasi sisi kenegatifan orang gila sehingga mereka perlu disembuhkan dengan cara dikurung atau dipisahkan dari “orang waras” dan lingkungan hidup yang wajar. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah seperti apa rumah sakit jiwa itu. Bagaimana sistem yang berjalan di dalam rumah yang digunakan untuk menampung dan menyembuhkan orang gila itu?

Beberapa film yang bercerita tentang rumah sakit jiwa atau setidaknya menjadikan rumah sakit jiwa sebagai setting utamanya telah banyak diproduksi, khususnya film-film Barat seperti One Flew Over the Cuckoo's Nest (1975), Girl, Interrupted (2000), Gothika (2003), Insanitarium (2008) Changeling (2008), dan Shutter Island (2010). Di Indonesia sendiri ditemukan dua film yakni Orang-Orang Sinting (1981) dan Beth (2002). Film-film tersebut dapat digunakan sebagai salah satu alternatif menelusuri representasi sistem yang berjalan di rumah sakit jiwa. Dalam kajian film ini akan dipilih tiga film yakni One Flew Over the Cuckoo's Nest (1975) mewakili rumah sakit jiwa laki-laki, Girl, Interrupted (1999) mewakili rumah sakit jiwa perempuan, dan Beth (2002) mewakili rumah sakit jiwa campuran sekaligus rumah sakit jiwa di Indonesia.



Film One Flew Over the Cuckoo's Nest bercerita tentang kisah Randle Patrick McMurphy mulai dari dimasukkan ke rumah sakit jiwa negara khusus laki-laki sampai akhirnya meninggal di sana. Film ini diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ditulis oleh Key Kesey berdasarkan riset terhadap kehidupan rumah sakit jiwa di Menlo Park, California. Film Girl, Interrupted bercerita tentang pengalaman nyata Susanna Keysen mulai dari dimasukkan ke rumah sakit jiwa swasta khusus perempuan sampai akhirnya berhasil keluar dari sana. Film ini juga diadaptasi dari novel yang ditulis oleh Susanna Keysen berdasarkan pengalaman nyata yang dialaminya selama berada di rumah sakit jiwa. Sementara itu, film Beth bercerita tentang kisah Elizabeth (Beth) dan Pesta, sepasang kekasih yang tidak direstui karna perbedaan kelas, tanpa disengaja dimasukkan ke rumah sakit jiwa campuran yang sama sampai salah satu dari mereka dibawa pulang (Beth).

Pertanyaan pertama sebelum melangkah lebih jauh ke aspek rumah sakit adalah bagaimana para tokoh bisa menjadi penghuni rumah sakit jiwa. McMurphy dinilai suka membuat keonaran dan malas bekerja selama berada di penjara. Sikap-sikap demikian membuat pihak penjara kewalahan dan perlu memindahkannya ke rumah sakit jiwa negara khusus laki-laki. Sementara Susanna dianggap gila akibat usaha bunuh diri dan kebiasaan seksnya yang tak wajar. Susanna divonis mengidap borderline personality disorder. Susanna sendiri mengelak bahwa dirinya pernah berniat bunuh diri. Ia menenggak aspirin untuk mengurangi rasa sakit kepala bukan untuk bunuh diri. Sayangnya, kadar aspirin yang ia konsumsi berlebihan. Susanna juga mengelak bahwa kegemarannya berhubungan seks selama ini bersifat tidak wajar sebab anak-anak seusianya juga melakukan hal yang sama. Sementara itu, Beth dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa karena ayahnya yang berprofesi sebagai jendral tidak ingin ada orang yang tahu bahwa putrinya mengalami gangguan mental, sedangkan Pesta dibawa ke rumah sakit jiwa karena dianggap mengganggu ketenangan selama di tempat rehabilitasi narkoba.

Kasus McMurphy hampir sama dengan kasus Pesta. Keduanya dianggap tidak lagi produktif di dalam penjara dan di tempat rehabilitasi (yang konsepnya pun sebenarnya sejalan dengan penjara), dan sebaliknya justru membuat keributan yang dirasa mengganggu aktivitas di sana. Itulah alasan pertama yang memungkinkan seseorang dinilai gila dan layak dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Sementara itu, kasus Susanna berangkat dari keprihatinan orang tuanya pada kelakuan menyimpang putrinya. Kedua orang tua itu merasa tidak mampu membantu mengatasi permasalahan Susanna sehingga mereka merasa perlu mengalihkannya pada orang lain, dalam hal ini psikiater yang dianggap punya otoritas pada permasalahan psikis. Itulah alasan kedua yang memungkinkan seseorang layak dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Terakhir, mengenai kasus Beth, orang tua juga sangat berperan seperti halnya kasus Susanna. Akan tetapi, dalam kasus Beth aspek yang ditekankan adalah kelas sosial, yakni jabatan ayah Beth sebagai jendral. Kasus ini menegaskan bahwa kegilaan selama ini dinilai sebagai suatu penyakit yang memalukan bahkan semacam aib yang dapat mengganggu “martabat” keluarganya (orang-orang waras) sehingga perlu ditutupi atau dirahasiakan. Hal itulah yang menurut film ini menjadi alasan ketiga yang memungkinkan seseorang dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.

Dari uraian di atas, dapat ditemukan suatu persamaan mendasar dari sejarah masuknya tokoh-tokoh tersebut ke rumah sakit jiwa yakni keempatnya tidak berangkat atas kehendak sendiri dan perasaan perlu untuk masuk rumah sakit jiwa. Keempatnya adalah korban dari kebingungan orang-orang sekitar atas permasalahan si tokoh dan cara menghadapinya. Masalah tersebut diselesaikan secara sepihak dan pintas dengan mengeluarkan keempat tokoh dari area mereka (orang-orang waras) serta mengirimnya ke area lain yang terpisah yakni sebuah pengurungan bernama rumah sakit jiwa. Posisi orang-orang yang dianggap gila sangat lemah di hadapan orang waras sehingga mereka tidak punya daya. Dari sana terlihat adanya kekuasaan orang-orang yang menamakan dirinya waras terhadap orang-orang yang menjadi masalah dalam hidup mereka. Boleh jadi ada itikad baik untuk memperbaiki keadaan tokoh-tokoh tersebut. Pertanyaannya, benarkah rumah sakit jiwa yang ada selama ini adalah solusi untuk memperbaiki keadaan tokoh-tokoh tersebut? Bagaimana sistem yang berjalan di dalamnya?



Ada berbagai komponen sistem penanganan masalah dalam rumah sakit jiwa yang perlu dipertanyakan. Pertama, pengorganisasian larangan. Larangan muncul karena ada suatu keinginan pasien yang tidak disetujui oleh pihak rumah sakit. Dalam film One Flew Over the Cuckoo's Nest, McMurphy mempunyai keinginan untuk menyaksikan pertandingan bisbol Seri Dunia. Untuk dapat menonton pertandingan bisbol, jadwal yang ada di rumah sakit jiwa perlu diubah. Ia meminta Suster Ratched untuk mengubah jadwal selama pertandingan berlangsung. Suster Ratched tidak mengabulkan hal tersebut dengan berbagai alasan. McMurphy keberatan dan akhirnya diadakanlah voting. Suster Ratched membuat peraturan voting yang sangat merugikan McMurphy. Apapun upaya yang ditempuh McMurphy, semuanya tidak akan berhasil. Kasus dalam film Girl, Interrupted serupa meski tak sama. Salah seorang pasien bernama Polly ketahuan sedang asyik bermain alat musik di luar jam bermain musik. Suster Valerie menegurnya dan menyuruh Polly pergi. Suster mengatakan bahwa Polly tidak boleh bermain musik di luar jam yang telah ditentukan. Dengan kecewa tapi pasrah, Polly pun keluar meninggalkan ruang seni. Dalam film Beth larangan pernah ditampilkan dalam adegan seorang pasien yang suka bermain ketapel. Suster yang memergokinya berusaha menyita ketapel itu tapi pasien tersebut mengelak. Suster pun mengancam dengan mengatakan “sekali lagi kamu merusak, saya bakar kamu!”. Dari kejadian tersebut terlihat bahwa aturan yang digunakan oleh rumah sakit jiwa bersifat tegas, kaku, dan otoriter. Seorang pasien tidak diperbolehkan melakukan apa yang ingin ia lakukan dan mendapatkan apa yang ingin ia dapatkan jika keduanya berada di luar ketentuan rumah sakit. Sejumlah larangan yang menghambat penyaluran keinginan-keinginan pasien tersebut diterapkan di sana. Pertanyaannya, apakah hal ini membantu memperbaiki keadaan pasien? Posisi pasien semakin tersudut menjadi objek semata sebab tidak punya hak menolak dan memilih. Mereka dikuasai oleh aturan tertentu tanpa memperoleh kebebasannya. Mereka mendapat larangan-larangan yang sering sulit dijelaskan kecuali dengan logika otoritas saja sehingga semakin menguatkan posisi mereka sebagai orang gila yang lemah di hadapan orang waras.

Kedua, model hukuman. Dalam film One Flew Over the Cuckoo's Nest, McMurphy pernah melakukan tindakan melawan aturan Suster Ratched. Awalnya, Cheswick, kawan McMurphy, sangat menginginkan rokoknya tetapi Suster Ratched tidak mengabulkannya. Hal ini membuat Cheswick menjadi histeris dan suasana di ruang itu pun kacau balau. Suster Ratched tetap pada pendiriannya untuk tidak mengabulkan permintaan pasien. Suasana makin tegang dan McMurphy tidak bisa tinggal diam. Ia menyelesaikan masalah tersebut dengan memecah kaca untuk mengambilkan Cheswick rokok. Kejadian itu membuat pihak rumah sakit marah. Perawat laki-laki datang dan memukuli McMurphy. Oleh sebab McMurphy melawan, ia pun dikenai hukuman berupa setruman listrik ke tubuhnya. Dalam film Girl, Interrupted, model penyetruman tubuh ini juga digunakan meski tidak ditayangkan secara langsung –hanya lewat pengakuan Lisa, kawan Susanna. Selain penyetruman, ada model pengurungan yang diperlihatkan dalam film Girl, Interrupted. Tiap kali ada pasien yang histeris, ia disuntik obat penenang dan dikurung sendirian di dalam kamar isolaso. Model hukuman semacam itu tidak ditampilkan dalam film Beth. Memang ada sistem isolasi dan penyuntikan obat dalam film Beth tetapi bukan dalam konteks hukuman. Tokoh Pesta pernah diisolasi karena sebagai penghuni baru dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti keributan. Oleh karena itu isolasi digunakan sebagai semacam inisiasi. Akan tetapi ada yang timpang di sini yakni mengapa tokoh Beth tidak diisolasi juga seperti Pesta saat menjadi warga baru? Apakah hanya pasien-pasien tertentu saja yang harus diinisiasi dengan cara isolasi? Kembali pada persoalan hukuman, apakah model-model hukuman tersebut sudah tepat dan manusiawi? Ada dua hal yang tampak sedang diorganisasikan oleh rumah sakit yakni rasa takut dan patuh. Tuke dalam Foucault mengatakan bahwa prinsip ketakutan dipertimbangkan sebagai hal yang sangat penting dalam mengatur pasien-pasien. Dari sana terlihat bahwa pasien diperlakukan sebagaimana anak-anak yang menaati aturan hanya karena rasa takut akan hukuman, bukan karena rasa perlu bagi perkembangan diri mereka.

Ketiga, metode pengobatan. Dalam film One Flew Over the Cuckoo's Nest dan Girl, Interrupted terdapat metode pengobatan yang sama. Teknisnya, pasien dipanggil satu per satu untuk menelan obat tidur/ penenang yang sudah disediakan. McMurphy dan Susanna sebagai penghuni baru sama-sama menolak menelan obat itu. McMurphy berargumen bahwa ia tidak pernah mau menelan obat yang tak diketahuinya, dan ia juga tidak suka obat penenang, sedangkan Susanna berargumen bahwa ia belum merasa ingin tidur sebab malam masih terlalu dini. Alhasil, apapun argumen yang mereka ajukan, pihak rumah sakit tetap tidak akan mengubah aturan. Keduanya harus tetap menelan obat. Metode semacam ini tidak ditampilkan dalam film Beth. Sebaliknya, pengobatan yang ditampilkan adalah pengobatan pada Pesta dengan cara mendatangi pasien di kamarnya dan membantunya menelan obat atau menyuntikan obat. Ada adegan lain yang menarik diperlihatkan dalam film Girl, Interrupted yakni seringnya pasien mengelabuhi perawat. Diam-diam mereka tidak menelan obat tersebut tapi hanya menyembunyikannya di bawah lidah. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah para pasien tidak percaya akan kemanjuran obat-obatan itu dalam penyelesaian masalah mereka? Apakah tindakan memaksa pasien untuk tidur sesuai jam yang ditentukan dengan cara memberikan obat tidur merupakan cara yang sehat dan mendukung penyembuhan? Tidak adakah cara lain untuk mendorong pasien beristirahat tanpa obat tidur? Fenomena penolakan obat itu menyimbolkan adanya suatu pemberontakan secara tersembunyi yang dilakukan oleh pasien terhadap sistem pengobatan di rumah sakit jiwa.

Keempat, metode pengoreksian. Metode pengoreksian yang ditampilkan dalam film One Flew Over the Cuckoo's Nest, Girl, Interrupted, dan Beth berbeda. Dalam film pertama, pengoreksian dilakukan secara berkelompok. Para pasien dikumpulkan dalam satu ruang, lalu Suster Ratched mengemukakan masalah pribadi pasien di depan kelompok itu. Satu per satu anggota kelompok itu dimintai pendapat atas permasalahan yang dialami temannya. Sedangkan dalam film kedua, pengoreksian dilakukan secara individu, antara dokter dan pasien saja. Dokter menanyakan permasalahan yang dihadapi oleh pasien dalam ruangan khusus lalu memberi penilaian atas progres pasien tersebut. Lain lagi dalam film ketiga yang ditampilkan lewat adegan pengoreksian terhadap masalah pasien bernama Arif. Pasien itu dibawa ke ruang khusus dan ditanyai oleh dua dokter secara bergantian dan dijaga ketat oleh dua pengawal lainnya. Meski berbeda, metode pengoreksian dalam film Beth lebih dekat dengan metode dalam film Girl, Interrupted. Manakah metode pengoreksian yang tampak lebih unggul? Masing-masing metode tidak lepas dari kelemahan. Akan tetapi, metode pengoreksian yang digunakan secara indivial dalam film Girl, Interrupted dan Beth tampak lebih baik daripada dalam film One Flew Over the Cuckoo's Nest. Hal ini dikarenakan metode pengoreksian secara berkelompok ternyata lebih menekan dan menjatuhkan mental pasien. Permasalahan pribadi yang memalukan bagi orang waras saja, misalnya, tidak pantas dibicarakan di depan umum. Lebih-lebih pasien sebagai orang yang mengalami gangguan mental semestinya perlu diberikan perlindungan dan rasa aman yang lebih besar. Mengapa metode semacam itu digunakan? Lain halnya dengan metode pengoreksian secara individu, permasalahan pribadi pasien hanya diketahui oleh si pasien dan dokter sehingga di sana tidak perlu ada rasa rendah diri di hadapan kawan lainnya. Permasalahan yang masih tampak dalam film itu adalah ketegangan antara pasien dan dokter saat wawancara. Dalam ketidaksependapatan antara pasien dan dokter, keduanya ngotot mempertahankan kebenaran masing-masing. Susanna merasa tegang dan tertekan oleh cara dokter menginterogasinya untuk mengakui apa yang di mata dokter salah (abnormal). Sementara itu, Arif yang pada awal pengoreksian berdialog dengan lancar, lama-kelamaan juga merasa tertekan hingga menarik kerah baju dokternya. Dari representasi tersebut, tampaknya perlu format ulang suasana yang lebih cair antara dokter dan pasien sehingga keduanya dapat berinteraksi lebih efektif.

Melalui keempat komponen sistem yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat pula hubungan pihak rumah sakit dan pasien. Semua komponen sistem tersebut rupanya menjadi faktor pendorong terjadinya hubungan kurang baik antara dokter dan pasien. Adanya ketidakseimbangan posisi selalu mengakibatkan salah satu pihak merasa dirugikan dan perlu memberontak. Hal inilah yang terjadi dalam film One Flew Over the Cuckoo's Nest dan Girl, Interrupted. Perasaan atas kesamaan nasib sebagai minoritas (kaum tersubordinasi) mengakibatkan para pasien punya rasa solidaritas antarsesama. Dalam film One Flew Over the Cuckoo's Nest nampak McMurphy menjadi komando yang disenangi kawan-kawannya dan dikhawatirkan oleh pihak rumah sakit karena pengaruhnya yang berbahaya. Demikian juga dalam film Girl, Interrupted, Lisa menjadi komando kelompok yang posisinya sama dengan McMurphy. Kedua kelompok itu sering menertawakan dokter atau perawat tanpa sepengetahuan pihak rumah sakit. Dari fakta tersebut nampaklah ironisme hubungan antara pihak rumah sakit dan pasien. Keduanya yang diharapkan memiliki hubungan baik dan saling bekerja sama justru menampakkan jurang pemisah yang dalam. Bagaimana efektivitas kerja untuk memperbaiki keadaan pasien jika hubungan antara keduanya demikian? Lebih parah lagi, akibat perlakuan pihak rumah sakit yang dirasa tidak manusiawi itu, McMurphy (berserta sahabatnya Chief Bromden) dan Lisa (beserta Susanna) bekerjasama untuk melarikan diri. Bukankah hal ini semakin menegaskan kondisi terjajah yang mereka alami?



Pemberontakan yang menonjol dalam dua film tersebut memang tidak ditampilkan dalam film Beth. Akan tetapi, ada hal lain yang diungkap dalam film ini yakni kebejatan moral dokter lelaki di rumah sakit jiwa. Dalam film Beth, ditampilkan adegan pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter kepala (Jeremyas) saat memeriksa kesehatan Beth. Pelecehan semacam ini juga tersirat di awal film saat dokter Jeremyas menegur dokter Karim yang kancing bajunya terbuka saat menggandeng pasien perempuan. Sambil mengerling ke arah dokter Karim dan tubuh perempuan itu, dokter Jeremyas mengatakan “ini harus rapi, jangan terlampau menyolok”. Kasus ini mengingatkan representasi pelecehan seksual serupa oleh pihak rumah sakit jiwa dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007). Mengapa dalam rumah sakit jiwa di Indonesia skandal semacam ini ditampilkan?

Pada akhir cerita ketiga film, dapat dilihat cara para tokoh berhasil “bebas” dari rumah sakit jiwa. Kebebasan McMurphy dikisahkan secara tragis. Ia dan Chief Bromden pernah berjanji untuk melarikan diri bersama. Sebelum semuanya terwujud, McMurphy sudah dikenai hukuman penyetruman yang membuatnya tak lagi punya daya. McMurphy seperti mayat hidup yang tidak dapat berkomunikasi seperti semula. Melihat keadaan itu, Chief Bromden sangat prihatin. Dalam keadaan dilematis, ia pun terpaksa membunuh McMurphy dengan cara menindihnya dengan bantal sebagai pilihan terbaik daripada meninggalkannya dalam kondisi ’mayat hidup’ itu. Chief lalu melarikan diri dengan keyakinan bahwa dirinya dan McMurphy telah sama-sama terbebas dari belenggu rumah sakit jiwa. Berbeda dengan kisah tragis itu, terbebasnya Susanna dari Claymore digambarkan secara ironis. Susanna yang selama ini antipati terhadap pihak rumah sakit jiwa akhirnya berbalik arah. Ia berpihak dan menuruti semua aturan di sana. Dengan cara itu, Susanna pun dianggap sembuh dari kegilaannya dan dikeluarkan dari rumah sakit jiwa. Lantas, apa arti sembuh dari kegilaan (bagi pihak rumah sakit jiwa)? Lebih ironis lagi dalam perjalanan pulangnya, Susanna berkata, “Diagnosis terakhirku: penyembuhan dari borderline personality disorder. Yang artinya aku masih tidak tahu.” Ungkapan itu menunjukkan bahwa meski telah berhasil keluar dari rumah sakit jiwa, Susanna tetap tidak mengerti dirinya telah sembuh dari penyakit apa. Sebagaimana semula, ia tetap merasa bahwa dirinya tidak gila, tetapi hanya menjadi salah satu korban dari sistem kehidupan pada masanya.

Lain halnya dengan kedua film tersebut, Beth keluar dari rumah sakit bukan karena faktor dari dalam dirinya sendiri melainkan karena ayah Beth mengetahui bahwa mantan pacar Beth, Pesta, juga dirawat di rumah sakit yang sama. Penyelesaian dari tokoh Pesta sendiri tidak diceritakan, oleh sebab itu tidak dapat disimpulkan tokoh tersebut pernah bebas atau tidak dari rumah sakit jiwa. Keterbebasan lain yang justru menarik dalam film Beth diceritakan lewat tokoh suster Zaenab. Di sana diceritakan bahwa suster tersebut dulunya pernah menjadi pasien di rumah sakit jiwa yang sama. Saat dinyatakan sembuh dan boleh keluar, Zaenab ternyata tidak diterima oleh masyarakat asalnya. Oleh sebab itu, ia merasa lebih baik jika kembali lagi ke rumah sakit jiwa dan mengabdikan diri sebagai suster di sana. Dalam film ini ditunjukkan bahwa rumah sakit jiwa mungkin saja dapat “menyembuhkan” pasien tetapi tidak memberikan pemecahan masalah lebih lanjut ketika pasien telah dinyatakan sembuh. Setelah memasukkan seorang “gila” ke rumah sakit jiwa sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap rumah sakit jiwa, masyarakat ternyata belum bisa menerima konsekuensi untuk menerima kembali orang tersebut saat sudah dinyatakan sembuh oleh pihak yang sebelumnya mereka beri otoritas itu. Ada yang salah di sini dan patut dipertanyakan, sebenarnya apa motivasi masyarakat (orang waras) memasukkan seseorang ke rumah sakit jiwa dan mengapa mereka tidak konsisten terhadap keputusannya sendiri? Hal ini mengingatkan penulis pada pernyataan Scull (1984) via Giddens bahwa 'tidak ada keraguan jika obat dapat bekerja dalam beberapa derajat –bahkan jika tidak ada seorang pun yang tahu dengan jelas mengapa mereka menggunakannya– dalam arti bahwa pengobatan medis itu mengatasi gejala tertentu sekaligus membuat pasien sulit untuk hidup secara efektif dalam masyarakat yang lebih luas'. Dari contoh tersebut, permasalahan lebih lanjut bagi “mantan orang gila” adalah penerimaan dari masyarakat. Atau yang sebenarnya menjadi masalah sejak awal bagi orang gila dan orang waras memang penerimaan itu sendiri?

Dari uraian di atas, menurut film One Flew Over the Cuckoo's Nest, Girl, Interrupted, dan Beth, kegilaan dan sistem rumah sakit jiwa masih menyimpan banyak pertanyaan atas ketimpangannya. Ketimpangan-ketimpangan yang ditampilkan itu memberi wacana bahwa rumah sakit jiwa yang ada belum sepenuhnya ideal sebagai tempat untuk memperbaiki keadaan orang-orang gila atau yang dianggap gila. Banyak koreksi yang tampaknya harus dilakukan untuk membenahi sistem yang diterapkan di dalamnya, sehingga rumah sakit jiwa bukan semata menjadi simbol kekuasaan orang waras terhadap orang gila, melainkan menjadi tempat paling kondusif untuk membantu orang-orang bermasalah menyelesaikan masalahnya secara manusiawi. Lebih dari itu, konsistensi dari masyarakat yang terlanjur memberikan otoritas perihal kegilaan pada rumah sakit jiwa menjadi masalah lebih lanjut. Jika tidak demikian, apa arti kesembuhan bagi seorang pasien jika kemudian tidak juga diterima oleh masyarakatnya?


*) tulisan ini merupakan revisi dari tulisan berjudul sama sebelumnya dengan adanya penambahan data.



Daftar Bacaan

Foucault, Michel. 2006. History of Madness. London & New York: Routledge.
Giddens, Anthony. 1993. Sociology (Second Edition). Britain: Polity Press.