Oleh: Muh. Khairussibyan*
Tulisan ini tidak bertujuan untuk memberikan penilaian baik-buruk terhadap puisi-puisi Retno Iswandari, tetapi salah satu usaha memahami jejaring metafor yang ditenun dengan tekun oleh sang penyair.
Membaca 7 puisi Retno, saya seperti diputarkan siluet-siluet/ sketsa-sketsa ruang yang berbeda-beda secara terus menerus hingga menimbulkan tanya, “apakah Retno seorang petualang? Beberapa puisinya menciptakan imaji tentang ruang yang akrab namun menekan dan mendesak kesadaran subjek yang tidak pernah berhasil menjadi sunyi.
Di dalam sajak Riwayat Dosa, diri subjek-dalam sajak ini ialah persona Ia yang menjadi begitu terancam oleh variable ruang sosial bahkan ketika ia berada di dalam ruang “pribadi”. Rumah telah menyatu dengan kota sehingga Aku seperti hidup di rumah kaca di mana lakuan sekecil apapun mesti dipertimbangkan demi harmoni ruang sosial. Harmoni, kata ini hampir klise, namun dalam sajak Riwayat Dosa ia-lah Atas Nama Bapak yang memiliki kuasa tafsir atas kitab suci dan dipatuhi oleh Ia-lirik walaupun ia tak henti disulut hasrat pemberontakan terhadapnya.
Di dalam puisi ini ada sebuah peristiwa mengalir-menjauh, tapi berbisik lantang di ingatan dan menciptakan monumen penolakan atas waktu yang digunakan oleh ia-lirik untuk melupakannya: /kota dan sebuah rumah di bawah topi/. Kota adalah ruang publik di mana harmoni sosial itu terus dialirkan secara vertikal dan horizontal antar individu. Sedangkan rumah adalah milik pribadi di mana konstruksi imajiner yang seliar-liarnya bisa diwujudkan dan di mana pemberontakan yang vulgar maupun sublime dimulai. Namun, dalam sajak ini, rumah telah diinvasi oleh kota dengan kuasa wacananya yang menindas subjek. Ruang privasi menyatu dengan ruang publik, di mana kuasa tafsir atas ruang didominasi oleh wacana kolektivitas, sehingga individu mau tidak mau terintimidasi oleh pelabelan-pelabelan yang eksklusif: berdosa.
Malam-malam celaka
Malam-malam celaka
Jari-jari mengetuk di pintunya
Mata-mata tumbuh di dinding
Tak pernah terpejam
Gaduh
Layaknya pasukan siap menerkam jantung dan lambung
Kota yang gaduh dalam kesendirian
Tak ada jeda buat berduka dalam paniknya
Subjek teralienasi oleh suara-suara atau penamaan-penamaan yang diproduksi oleh subjek kolektif (masyarakat). Ia menjadi begitu takut, karena merasa telah melanggar batas-batas lakuan yang diciptakan oleh struktur sosialnya. Riuh wacana dominan tidak memberikan tempat bagi pikiran dan rasa individual untuk merenungkan posisi dirinya dan mengada di ruang sosial. Tegangan antara keinginan untuk sunyi dengan gaduhnya vonis masyarakat menciptakan situasi yang serba tidak nyaman hingga subjek berkeinginan untuk lepas dari situasi itu dengan mencari ruang (situasi) baru yang terbebas dari aktivitas bahasa yang mendiskreditkan subjek.
ia pun melarikan diri
ia pun melarikan diri
daun-daun kering jatuh di atas kaki
tanah terasa menyala
kian menyala ke ujung rambutnya
keinginan-keinginan lama terbakar
keinginan-keinginan baru alangkah jauh
Subjek melarikan diri dengan menyimpan hasrat pemberontakan yang menggebu tersebab ingin melepas atribut-atribut sosial: bebas melakukan apapun tanpa harus dilekati kata “dosa”. Namun, tubuh yang terbakar oleh pemberontakan itu berhenti memproduksi cita-cita sosial karena hal itu selalu membawanya pada kutub-kutub pemaknaan yang beroposisi-negatif. Ia terkurung oleh kuasa wacana dominan kolektivitas.
Dalam perpektif Lacanian, “Lari” adalah metafor bagi hasrat untuk menjadi murni kembali, menjadi alami, terbebas dari penjajahan budaya di mana Ia terus divonis-entah karena “dosa” apa-. Di dalam puisi ini, pelarian gagal menjadi klimaks karena “lari” terlalu cepat disadari sebagai “sia-sia”-ia tidak bisa melarikan diri dari budaya atau penamaan-penamaan oleh subjek kolektif (masyarakat)-nya. Dengan kata lain, subjek berlari tetapi involutif (lari di tempat): /keinginan-keinginan lama terbakar/ keinginan-keinginan baru alangkah jauh/. Ia menyadari bahwa ke manapun ia hendak menempatkan diri, selalu ada aktivitas bahasa yang menyertainya sebagai alat kontrol hegemoni otoritas tertentu dalam masyarakat. Di bait selanjutnya ada ungkapan yang sengaja dibuat dalam bentuk oposisi.
ia terus berlari tanpa dikejar
ia terus berlari tanpa dikejar
dan terus berlari dengan tubuh terbakar
tanpa api
Berlari tanpa dikejar dan terbakar tanpa api: ungkapan pertentangan ini seperti hendak menegaskan bahwa ia mengakui dirinya berdosa, yang berarti pula, ia menginternalisasi larangan-larangan Atas Nama Bapak yang bernama harmoni itu. Ia telah melakukan hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakatnya. Namun pilihan penyair menggunakan ungkapan pertentangan inilah yang membuat bait ini gagal menjadi klimaks, ia menjadi antiklimaks karena imaji yang hendak dibangun tentang hasrat pemberontakan justru mengendur dengan bentuk pertentangan itu. Kalau terbakar, biarlah ia terbakar, jika ia berlari, biarlah ia berlari.
Ia berlari hingga ke tepi pulau dimana ia bertemu dengan laut. Imaji laut melintas jelas dengan adanya ungkapan /di tepi pulau itu/ di mana Ia mencari perahu untuk mengarunginya. Laut adalah kebebasan, simbol alam liar sebagai lawan dari pulau sebagai budaya, lagi-lagi Ia menemukan dirinya mengada dalam posisi tegangan yang involutif antara masa depan dengan masa lalu /tak ada perahu yang dulu/ ataupun yang baru/. Sehingga dengan terpaksa Ia berkompromi dengan masa kini yang baginya merupakan mimpi buruk yang dihembuskan masa lalu. Sampai di sini, penyair merasa belum cukup baginya ungkapan-ungkapan dan metafor sebelumnya yang memberikan imaji tentang tegangan involutif yang dialami oleh subjek, sehingga ia merasa perlu menutup puisinya dengan penegasan kembali tentang pedih yang dirasakan dalam posisi ‘antara’ itu: /seperti hantu yang enggan menusuk/ tapi tertawa keras dan ujung kukunya selalu menunjuk/ ke arah lingkar sebuah topi/. Seperti monolog dalam sebuah film, “tak ada yang bisa lari dari masa lalu, tak ada yang bisa lari dari pengadilan”.
Pemakaian kata ganti persona “Ia” di dalam sajak ini mengindikasikan beberapa hal, pertama, itu sebagai strategi metonimik untuk mengalihkan perhatian sensor kebudayaan pembacanya yang cenderung akan mengidentikkan subjek di dalam sajak sebagai Aku-Penyair. Kedua, penyair bermaksud menjadikan ‘dosa’ sebagai persona yang bisa mewujud dalam diri siapa saja yang pernah atau akan pernah melakukan lakuan di luar garis kebudayaan atau dogma tertentu. Menurut saya, sajak adalah ruang kosong di mana penyair mewujudkan sublimasi atas konstruksi identitas diri dan kebudayaannya. Oleh karena itu, persona di dalam sajak bisa saja identik dengan penyair, tapi tidak melulu pengalaman fisiknya, ia bisa saja menyerap jiwa zaman dan pikiran-pikiran subjek-subjek lain di sekitarnya yang disublimasi kemudian direpresentasikan dalam sajak.
*) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Aktif menulis puisi, esai, dan berteater.
Analisis Byan setajam mata Retno.
ReplyDeletehehehe, aku berdebaran membaca tulisan Byan. Bukan sekadar karena puisi yang dibahas puisiku, tapi analisisnya sendiri sangat dalam. terima kasih. terima kasih :)
DeleteBiyan, kenapa bukan ini yang dibacakan kemarin? Kan keren banget nih...
ReplyDeleteSaya tawarkan essai untuk puisinya yang lain, tapi penyairnya menolak pak..ditolak pak, jadi malu...hehe...terima kasih pak..
ReplyDeletehappy blogging!
ReplyDelete