Saturday, February 02, 2013

Iwan Simatupang & Tokoh-Tokoh Imajinernya


Oleh: Retno Iswandari 

(jurnal BASIS, nomor 11—12 tahun ke-60, 2011



Saya bukan manusia-pulang, tapi manusia-pergi. Demikianlah tutur tokoh kita dalam sebuah novel yang ditulis Iwan Simatupang pada masa-masa terakhir hidupnya, yakni Kering. Kalimat tersebut menjadi ringkasan dari perjalanan panjang karya-karya Iwan selama ini, baik esai maupun fiksi, sebelum akhirnya ia pulang untuk selamanya pada 4 Agustus 1970. 

Iwan Simatupang, putra Sibolga yang lahir pada 18 Januari 1928, pernah berpetualang ke negeri-negeri asing, seperti mengenyam studi antropologi dan drama di Belanda dan studi filsafat di Perancis. Iwan produktif dalam ranah penulisan esai dan fiksi. Beberapa esainya dikumpulkan kembali oleh Oyon Sofyan dan Frans M. Parera dalam Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air (Esai-esai Iwan Simatupang) yang terbit pertama kali pada 2004. 

Selain esai, Iwan Simatupang menulis puisi yang terkumpul dalam antologi Ziarah Malam, drama Taman (1958), Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar (1957), Kaktus dan Kemerdekaan (1969), serta empat novelnya yakni Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975). 

Dalam kumpulan esainya, tampak sebuah mozaik pemikiran Iwan Simatupang mengenai kesusasteraan. Ia pertanyakan kembali apa dan bagaimana kerja pengarang, wajah karya sastra Indonesia, dan apa yang perlu dipikirkan demi masa depan kesusasteraan. Dari sana, tampaklah motif penciptaan yang melatari karya sastra Iwan Simatupang. Hal itu selanjutnya dapat kita telusuri lewat karya-karya fiksinya. 


Totalitas Pencarian 

“Apa yang harus dikarang pengarang? Apa saja, pada mana ia pada saat itu dapat memberikan seluruh dirinya, tanpa ragu-ragu. Bahwa sesudah itu, dia bakal digiring ke pojok surat kabar yang akan mempandirkan dirinya, atau digiring ke tiang gantungan, itu adalah persoalan sesudah saat itu, dan terhadap mana dia bukan subyek lagi, tetapi hanya obyek.” 

Pernyataan tadi termuat dalam esai Kekuatan Abstrak untuk Berkata Tidak yang dipublikasikan lewat majalah Siasat Baru, 17 Februari 1960. Dalam pernyataan tersebut tampak sikap dan pandangan Iwan sebagai pengarang memberikan totalitas sebagai subyek dalam menghasilkan karya. 

Tidak berhenti pada kemauan saja, Iwan menggalakkannya dalam kerja nyata yakni ‘mencari’. Dalam esai Mencari Tokoh bagi Roman yang dipublikasikan lewat majalah yang sama pada 30 Maret 1960, Iwan memulai pencariannya dengan mempertanyakan kembali wajah roman Indonesia. Jawaban atas pertanyaan tersebut memang ‘mencari’ yang juga bisa diwujudkan dengan ‘menciptakan’. Iwan ingin menekankan bahwa soal tokoh dan gaya bukanlah hal yang remeh dan formal saja. Ranah ini penting untuk dieksplorasi, dicari dan diciptakan kebaruannya. Totalitas pencarian yang tak henti-henti sebagai motif di balik penciptaan karya-karyanya ditegaskan lagi oleh Iwan dalam bagian akhir esainya sebagai berikut: 

“Selama jantung kepengarangan seperti ini masih berdetak, maka segala ramalan tentang nasib kesusasteraan umumnya, nasib roman khususnya, kita biarkan sebagai ramalan belaka—dan kita bekerja terus. Mencari terus garis-garis bagi sosok tubuh tokoh-tokoh roman kita yang akan datang.” 


Keterasingan dan Pencarian

Bagaimana ide totalitas pencarian itu direalisasikan Iwan Simatupang dalam karya fiksi khususnya novel? Pola-pola apa yang digunakan Iwan dalam kerja ‘mencari’ tokoh-tokoh imajinernya? 

Di sini akan diambil tiga novel Iwan Simatupang sebagai lahan untuk menelusuri kerja nyata ‘mencari’-nya Iwan Simatupang, yakni Merahnya Merah, Kering, dan Koong. 

Merahnya Merah bercerita tentang kisah seorang tokoh protagonis yang disebut sebagai tokoh kita tanpa nama pribadi. Tokoh kita ini digambarkan sebagai lelaki yang mempunyai latar belakang yang kompleks. Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa. 

Kompleksitas latar belakang itu membawa tokoh kita ke dalam pribadi yang unik. Sikap-sikapnya mencerminkan keinginan kuat untuk bebas dan berpetualang. Sejalan dengan itu, tokoh kita mulai bergerak. Ia masuk ke sebuah perkampungan gelandangan dan dipertemukan dengan sebuah komunitas baru. Tokoh kita dikenal ramah dan dianggap saudara oleh anggota komunitas itu. Akan tetapi, pribadinya yang berangkat dari kompleksitas latar belakang yang berbeda (mau tidak mau) menjadikannya tidak dapat lepas dari keterasingan. Ini terbukti dari sebutan ‘manusia yang melulu terdiri dari mukadimah‘ yang disandangkan oleh Pak Centeng pada dirinya. 

Cerita berlanjut. Tokoh kita dipertemukan dengan Fifi yang akhirnya menjadi kekasih hatinya. Suatu ketika Fifi hilang dan inilah awal dari pergerakan panjang novel ini, yakni ‘mencari’. 

Dalam novel ini, pencarian kepada salah seorang tokoh yang hilang (Fifi) adalah pencarian kolektif, pencarian yang melibatkan semua tokoh dalam novel, baik mencari secara langsung atau sekadar terlibat dalam emosi pencarian. Tokoh kita sendiri yang semula dihalangi oleh Maria, akhirnya berangkat untuk mencari juga. 

Ketika Pak Centeng mengejarnya dan bertanya akan kemana, tokoh kita menjawab: “Entahlah. Hatiku berkata, aku harus berbuat sesuatu. Entah apa. Dan ini semakin membuatku sebal. Yakni, hadirnya suatu keadaan yang, dilihat dari segenap penjuru, adalah sama dan sebangun dengan suatu tuntutan untuk bertindak.” (Merahnya Merah: 1968, 87). Dengan kata lain, diam dan tidak mencari adalah sesuatu yang dielak oleh bawah sadar tokoh kita. 

Dalam karya-karya fiksi Iwan Simatupang, pola atau alur pencarian semacam ini tidak hanya ditemui dalam novel Merahnya Merah, tetapi juga dalam novel Kering dan Koong. 

Dalam novel Kering kerja ‘mencari’ dalam arti bergerak secara terang-terangan dan memicu pencarian secara kolektif justru diawali oleh tokoh antagonis yang disebut Si kacamata. Suatu ketika, desa transmigran yang dihuni penduduk itu dilanda kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan fatal. 

Si kacamata berbicara pada orang-orang di sekitarnya, “Bila tak ingin mati, kita harus pilih hidup. Daerah ini, dengan keadaannya yang begini kini, tidak memperkenankan kita hidup. Bila kita menolak mati, dan memilih hidup, kesimpulan berikutnya berbunyi: Kita harus cari daerah lain, di mana kemungkinan hidup itu ada bagi kita.” 

Si kacamata sebagai orang yang pertama memulai pencarian tidak mengerti secara jelas jalan yang akan ditempuhnya kelak. Hal ini sama seperti keadaan yang dialami Tokoh kita dalam Merahnya Merah saat akan memulai mencari Fifi. Baginya, mencari berarti risiko, spekulasi, mencoba lagi, berusaha lagi, dan hidup lagi! 

Bagaimana dengan tokoh protagonis dalam Kering itu sendiri? Oleh pengarangnya ia disebut juga sebagai tokoh kita. Tokoh kita dalam Kering ini juga memiliki latar belakang yang kompleks sebagaimana tokoh kita dalam Merahnya Merah. Tokoh kita ini digambarkan sebagai orang yang selalu “nyaris berhasil” dalam berbagai peran yang ia lakoni sepanjang masa lalu. 

Kompleksitas latar belakang ini membuat tokoh kita dalam Kering juga tidak dapat lepas dari suatu keterasingan terhadap lingkungannya. Hal ini dipertegas oleh pengakuan tokoh kita sendiri yang berkata alangkah sulit melakukan hubungan antar manusia! Alangkah sulitnya untuk berbuat biasa saja. Alangkah sulitnya untuk bercakap biasa saja. 

Tokoh kita dalam Kering juga melakukan suatu pencarian yang total, mental dan fisik, dalam dan keluar. Ia melakukan kerja ‘mencari’-nya seorang diri di desa kering itu. Pencarian itu adalah pencarian dari nol-harapan-hasil, tidak peduli bahwa sumur yang ia gali akan menemukan air, tetapi proses itulah yang tetap membuatnya hidup (pencarian-dalam). 

Tokoh kita baru mengalami pergerakan keluar desa (pencarian-keluar) setelah desa itu kering terbakar. Sebelum berhasil mengadakan pencariannya yang bebas, ia harus lebih dulu berurusan dengan rumah sakit jiwa sebagaimana dalam Merahnya Merah juga. Sewaktu pencarian-keluarnya inilah ia merasakan keterasingannya dalam melakukan hubungan antarmanusia. Akan tetapi, semangat pencarian tokoh kita tetap berjalan dengan optimis. Bahkan ia sempat mengikrarkan dirinya sebagai ‘bukan manusia-pulang, tapi manusia-pergi’, dimana dirinya senantiasa berangkat dan tak pernah ingin terikat dan mengikat (pada) apa dan siapapun. 

Sementara itu, tokoh protagonis dalam novel Koong mempunyai nama pribadi, yakni Pak Sastro. Hal ini dimungkinan oleh karena Koong punya latar belakang penciptaan yang berbeda dengan novel lainnya. Menurut catatan Dami N. Toda, novel Koong ini ditulis khusus diperuntukkan bagi muda-mudi dan anak-anak sebagaimana yang dikatakan dalam surat Iwan Simatupang kepada H.B. Jassin. Meski demikian, ada yang tetap tidak hilang dari motif dan pola khas Iwan dalam novel ini, yakni keterasingan dan pencarian. 

Dalam Koong, Pak Sastro juga berlatar belakang yang kompleks karena peristiwa tragis dan ironis yang terus-menerus menimpanya. Mula-mula ia seorang yang dihormati sekaligus disayangi warga setempat karena sifat dermawan dan rendah hatinya. Suatu ketika, bencana banjir datang dan merenggut nyawa istrinya. Selang beberapa waktu, anak semata wayangnya meninggal tertabrak kereta api. Dalam kehilangan yang berlipat-lipat itu, sebuah pelarian berupa ‘burung perkutut’ miliknya yang unik pun lepas dari sangkarnya. 

Kehilangan yang dialami Pak Sastro menjadi kehilangan bagi seluruh warga. Pak Sastro mencari perkututnya dan seluruh warga pun membantu mencari perkututnya. Terjadilah pencarian kolektif yang menggerakkan novel ini sebagaimana dalam novel-novel Iwan sebelumnya. Pencarian burung perkutut secara kolektif ini menimbulkan keresahan desa. 

Akhirnya, Pak Sastro memutuskan untuk pergi meninggalkan desa itu. 

Di sinilah Pak Sastro menjadi seorang manusia-pergi, bukan manusia-pulang. Ia lebih memilih untuk terus pergi dan mengembara dalam kebebasan, bukan pulang dan mengikat diri pada masa lalu. 

Pada akhir Kering, Pak Sastro berkata, “Aku mau terus begini dulu. Katakanlah, mengembara. Katakanlah aku dipesona secara dahsyat oleh alam kebebasan dan kemerdekaan. Menurut hematku lebih membahagiakan dari kehidupan di desa kita.” 

Dari tiga novel tersebut, tampaklah motif dan pola yang selalu diterapkan oleh Iwan Simatupang dalam menggerakkan karya-karya fiksinya, yakni keterasingan dan pencarian. Sekalipun tidak tahu harus kemana arah pencarian itu, tapi alam bawah sadarnya selalu menolak untuk diam. Lewat pola pencarian sesuatu yang hilang, Iwan dan tokoh-tokoh imajinernya senantiasa bergerak menemukan hal-hal yang baru. 

Tidak digunakannya nama pribadi bagi tokoh-tokoh imajiner Iwan ini (kecuali dalam Koong) juga menunjukkan sikap kepengarangnya yang tidak melulu konvensional, tetapi mencari kemungkinan-kemungkinan baru dalam karya sastra Indonesia. Iwan Simatupang mencari terus garis-garis bagi sosok tubuh tokoh-tokoh roman kita, dan tokoh-tokoh yang diciptakannya itu pun senantiasa bergerak mencari, sebuah pencarian yang total dan tak henti-henti. 




1 comment:

  1. novel2 kong, kering dan merahnya merah pernah saya baca tahun 80an, sekarang pengen baca lagi, dimana saya bisa mendapatkannya dan berapa harganya. tks.
    Syekhieran@gmail.com

    ReplyDelete